Senin, 20 April 2009

Tiada aturan untuk sang tupai


Tiada aturan untuk sang tupai

Kilatan kata yang memantul dari sajak penuh sastra
Terkadang menyentuh, membius, juga melukai
Sajak-sajak terbengkalai diantara blok-blok sepi
Terus memagari pikiran untuk membuka mata hati

Kata yang terucap tak ubah seperti sabda
Yang menghujam diantra vena, lalu menyusup sumsum
Mengilukan, menyerikan, dan meradangkan decak dada
Lalu pergi menyisakan sepi diantara keasingan kasta


Tinggalkan saja bercak-bercak merah angkara ini
Yang masih saja menyelip diantara naluri hewani
Menutupi intuisi untuk saling welas asih sebagai manusiawi
Akankah kita saling tuding dan sibuk mengumpulkan alibi
Lalu menyerang dengan dalih argumentasi

Biasan kata yang tersumpal oleh ego
Memaksakan diri untuk bertindak masa bodoh
Mengubah sikap siapa aku dan siapa kamu
Lalu lupa akan gambaran wajah diantara cermin jiwa

Lupa terhadap etika yang diajarkan oleh belas kasih
Sudah berani menggurui dan memberi wejangan terhadap sang nabi
Lalu dengan lantang berteriak bagai sang orator yang gagah berani
Hingga utuhnya purnama pun ikut mengangkangi hati
Melulukan ego yang sulit untuk memberi cerah jiwa

Sementara disetiap tetes peluh ini
Mengucap sumpah serapah tanpa iba hati
Mengacungkan lencana tanpa tanda bukti
Sudah pantaskah kau mengukir kata lewat piawai sang tupai



Jakarta, 2009-03-15

Madu gairah cinta


Madu gairah cinta

Ingin ku rengkuh lagi nikmat madu cintamu
Yang kau umpankan lewat bahasa jiwa dari sanggarmu
Hingga aku tak sadarkan diri mabuk atas gairahmu
Melebur sukmau didalam bejana kenikmatan
Lalu terdengar suara lenguh penuh desah

Masih ada sisa-sisa madu cinta dari sudut bibirmu
Yang kau lumat dari benang sari sang sang anggrek ungu
Menawarkan sejuta perih dan gelisah hati
Kau terlihat ceria ketika usai memeras madu dari bidakara
Pendar-pendar pelangipun bersinar jelas di beningnya netramu
Menyiratkan tanda bila kehausanmu telah lenyap dari imajinasimu
Julur-julur kenikmatan merekah mengiringi warna senja
Memantulkan suara burung “kukuk beluk” sebagai irama tepi hari

Tiba waktu untuk kita menyucikan diri ditelaga nila
Sebagai wujud syukur kita terhadap perahan madu
Yang telah tertanam diantara altar menuju surga keturunan Adam
Terjaga oleh naga peri dari jelmaan kupu-kupu cinta
Penuh kehangatan untuk tranformasi sempurna dari agitasi hidup kita berdua
Semoga kita berhasil menjadikan penerus khalifah dibumi ini, Ridho Ilahi, bersama kita

Jakarta, 19 April 2009